Monday, July 30, 2012

Kisah Cinta Abadi Dalam Sepiring Nasi Goreng


Cinta, satu kata yang bisa mengungkap banyak makna. Cinta sering datang begitu saja tanpa mengetuk pintu hati seseorang, tiba-tiba dia tumbuh dan berkembang tanpa permisi. Saat cinta itu bersemi, rasanya semua kebahagiaan di dunia hadir dalam hidupku.
***
Kisah ini dimulai saat aku masih berusia 13 tahun, aku masih tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Barat. Aku adalah anak perempuan yang pemalu, apalagi dalam usia itu, aku mengalami puber dan agak merasa aneh jika dekat-dekat dengan para pemuda, seperti anak usia puber pada umumnya.

Di depan rumahku, ada keluarga yang baru pindah, kira-kira baru tiga minggu. Aku tahu bahwa salah satu anak mereka berusia hampir sama denganku, namanya Yoga. Remaja di tahun 1990 tidak seperti remaja sekarang yang lebih mudah berekspresi, remaja di tahunku lebih malu-malu dan menjaga sikap. Begitulah yang aku alami, aku sedikit penasaran dengan Yoga, tetapi hanya berani melihat dari jauh. Kadang aku sengaja menyiram halaman rumah saat sore hari hanya untuk melihat kedatangannya sepulang dari sekolah.
Saat itu aku tidak mengerti apa yang aku rasakan, jantungku rasanya melompat di tempat saat aku melihat senyumnya. Aku benar-benar polos saat itu, aku sempat berpikir jangan-jangan Yoga mengirim guna-guna untukku. Tetapi itu hanya pikiran polos anak perempuan yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta.

Pada satu pagi yang cerah, aku sendirian di rumah, keluargaku menjemput nenek di bandara dan badanku agak demam, sehingga aku memutuskan tidak ikut. Tiba-tiba pintu rumahku diketuk, dan pemuda yang berdiri di depan rumah adalah Yoga. Kakiku rasanya lemas seketika, tetapi aku berusaha tersenyum. Aku melirik sebuah nampan berisi dua piring nasi goreng yang dibawa Yoga.
"Aku baru memasak nasi goreng, tapi kebanyakan," ujarnya. "Kamu mau membantu menghabiskannya?"
Aku mengangguk pelan, kemudian aku mempersilakan Yoga duduk di teras rumah. Tidak perlu menunggu waktu lama, Yoga mulai bercerita kalau nasi goreng itu adalah eksperimen pertamanya dalam dunia memasak.
"Tadi aku lapar, ayah dan ibu belum pulang dari dinas luar kota," ujarnya sambil mengunyah nasi goreng.
Aku lebih banyak tersenyum dan mengangguk pelan. Jujur, aku malu. Entah malu kenapa, yang pasti aku malu, tetapi juga senang karena bisa duduk di samping Yoga.
"Enak tidak?" tanyanya.
"Enak," jawabku sambil memberanikan diri menatap wajah Yoga sambil tersenyum. Padahal, jujur saja, aku merasa nasi goreng itu sedikit hambar. Tak apa, ini adalah nasi goreng terenak yang pernah aku nikmati.

Hanya begitu saja, aku bisa merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta. Memang, mungkin banyak orang yang menyebutnya cinta monyet. Tetapi aku bisa merasa nyaman di samping Yoga, mendengar ceritanya, senyum hangatnya, dan mungkin dia tidak sadar bagaimana jantungku seperti mau lepas dari tempatnya.

Sayang, aku belum sempat mengenal Yoga lebih jauh. Hanya 2 bulan setelah seporsi nasi goreng itu, keluargaku harus pindah ke Sulawesi, pemerintah sedang menggalakkan program transmigrasi. Mau tidak mau, aku berpisah dengan Yoga.
Dia adalah cinta pertamaku dan selamanya

Di awal tahun 1990, sangat sulit untuk melakukan komunikasi, apalagi keluargaku ditempatkan di sebuah kota yang sangat kecil, sebagian penduduk belum mendapat listrik, tidak ada telepon, kantor pos juga jauh dari jangkauan. Aku terpaksa melupakan ide untuk berkirim surat pada Yoga. Orang tua memintaku untuk fokus pada pendidikan, sekolahku sangat jauh dari tempat tinggal keluarga kami, harus menempuh perjalanan satu jam lebih.

Maka sedikit-demi sedikit, aku merelakan untuk tidak berkomunikasi kembali dengan Yoga.
Tahun demi tahun berlalu, aku tumbuh menjadi wanita dewasa yang mandiri, bekerja di sebuah perusahaan kosmetik dan sudah berusia lebih dari 27 tahun. Ibuku sudah memintaku untuk segera mengakhiri masa lajang, tetapi entah mengapa, aku tidak pernah merasa nyaman saat menjalin hubungan asmara dengan beberapa pria. Mereka adalah pria-pria yang baik, mereka mencintaiku, tetapi aku masih berada dalam bayang-bayang Yoga.

Aku tahu, apa yang aku rasakan mungkin terlihat bodoh. Ada keyakinan dalam diriku bahwa Yoga adalah jodohku, walaupun aku hanya mengenalnya beberapa bulan, walaupun usiaku saat itu masih 13 tahun, dan hanya dengan sepiring nasi goreng. Bahkan aku tidak tahu bagaimana perasaan Yoga kepadaku, dia tidak pernah mengatakannya, aku juga tidak pernah mengatakan perasaanku pada Yoga.

Entah apa namanya, tetapi aku yakin Tuhan akan menuntunku sekali lagi untuk bertemu Yoga. Aku selalu berdoa agar dipertemukan sekali lagi dengannya. Walaupun mungkin cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan, atau mungkin dia sudah menikah, aku hanya ingin dia tahu bahwa aku pernah menyimpan sebongkah hati untuknya.


Hanyalah dirimu..
mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah..
kau tak akan terganti
Sepenggal lagu tersebut bisa menggambarkan bagaimana perasaanku, yang tidak dimengerti orang lain, dan yang dianggap buang-buang waktu oleh sahabat-sahabatku.
***
Di usiaku, banyak undangan pernikahan yang seolah tak ada habisnya. Kali ini yang menikah adalah bawahanku di kantor. Hari itu, aku datang seorang diri. Seperti pesta pernikahan pada umumnya, banyak orang yang datang, sebagian besar tidak kukenal. Karena aku datang sendiri, aku berbincang dengan kumpulan teman-teman kantorku. Kami menyempatkan diri berfoto bersama sang mempelai, lalu aku memutuskan untuk pulang.

Kemudian hal yang sangat tak terduga terjadi.. Di tempat parkir, seorang pria menarik tanganku. Aku terkejut, tetapi aku seperti mengenalnya, entah siapa.
"Kamu.. Adelia kan? Yang dulu tinggal di jalan Merbabu dan suka pura-pura menyiram bunga padahal menunggu aku pulang sekolah,"
Rasanya jantungku berhenti berdetak.
"Yoga?" tanyaku, mungkin wajahku pucat saat itu karena aku seperti tidak merasakan jantungku berdetak.

Pria itu mengangguk. Dia bukan lagi pemuda dengan tinggi yang sama denganku, sekarang dia jauh lebih tinggi, tampak lebih berwibawa, tulang rahang yang lebih tegas, dan senyum itu.. senyum itu tetap hangat, senyum yang selalu aku rindukan.
"Masih suka bikin nasi goreng yang kebanyakan?" tanyaku dengan senyum yang lepas, dan ternyata aku masih hidup.

Yoga mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Aku kangen nasi goreng buatanmu," ujarku tanpa peduli banyak orang menatap kami.
"Yaa.." ujarnya dengan suara kecewa, "Masa kamu kangen nasi gorengnya doang, nggak kangen dengan yang bikin nasi goreng?"
Aku tersenyum dan meninju pelan lengannya.
Kisah itu terulang lagi. Sekali lagi aku merasa jatuh cinta dengan cara yang sederhana. Aku menganggap kejadian ini sebagai keajaiban. Kali ini, aku tidak mau kehilangan Yoga, terlebih lagi setelah aku tahu bahwa dia masih single.
***
Yogyakarta, 16 November 2008
Hari ini, tepat beberapa jam lagi, aku akan menikah dengan Yoga. Penantianku tidak sia-sia. Hanya butuh beberapa bulan bagi kami untuk memutuskan menikah. Setelah pertemuan kami hari itu, Yoga bercerita kalau sebenarnya dia juga merasakan hal yang sama denganku belasan tahun yang lalu. Tetapi pada akhirnya, kami kembali dipertemukan. Aku kembali bisa mencicipi nasi goreng buatannya yang sudah tidak hambar. Dan yang pasti, kami sudah saling memiliki cinta yang abadi, yang datang dengan cara yang sederhana. Semoga.. selamanya.


Ketika seseorang membawa cinta untukmu,
selalu ada keajaiban di dalamnya.
*with luv





No comments:

Post a Comment