Di tengah kebahagiaan yang telah dijalaninya, Carolyn York, 27
tahun, kerap dihinggapi rasa bersalah yang kian mendalam. Dengan
kebimbangannya tersebut, ia pun tidak bisa menikmati gelar barunya
sebagai the newlywed.
Sewaktu kecil saat tengah berandai-andai
tentang masa depan, tentu Anda kerap berpikir kalau kehidupan yang akan
Anda dan pasangan jalani nantinya layaknya seperti kisah fairy tale –
menunggu sosok pangeran tampan dan gagah yang berani membuktikan
cintanya, dan mendambakan perjalanan romansa pernikahan yang selalu
diselimuti dengan kebahagiaan. Well...pasti hal tersebut pernah
terlintas saat Anda sedang menjalani hubungan bersama sang kekasih.
Mendapatkan sosok Mr. Right, menjalani kehidupan bersamanya, bahkan
bersama dengan pasangan membangun fondasi pernikahan yang kokoh. Meski
pada kenyataannya, menjalin sebuah pernikahan itu tidak hanya
bermodalkan sebuah cinta sejati saja, karena kita mesti mengetahui
kekurangan dan kelebihan pasangan untuk benar-benar bisa menjalani
hubungan yang happily ever after.
Pernikahan tidak hanya
tentang perasaan individual semata, tapi Anda dan pasangan harus
bekerja keras untuk menjadi satu tim yang kuat dan dapat menyelesaikan
segala halang rintang yang melanda Anda berdua setiap harinya.
Nasehat-nasehat
itulah yang kerap terlontar dari mulut orangtua saya, saat sang kekasih
melamar dan meminta saya untuk menjadi pasangan seumur hidupnya. Merasa
bahagia? Pasti. Saya bertemu dengan si dia saat kami masih duduk di
bangku kuliah, perawakannya gagah dan tampan, dan dia pun aktif dalam
kegiatan di kampusnya. That’s why, saya sangat tertarik dengannya,
karena saat melihatnya saya memiliki perasaan yang kuat kalau ia akan
menjadi pasangan saya kelak. Meski pada saat itu kami masih sama-sama
memiliki kekasih, namun hal itu tidak mematahkan semangat saya untuk
tetap dekat dengannya. Kami pun menjadi sahabat dekat sejak itu.
Ya...walaupun saya dan dia sempat berpisah setelah kami lulus, tapi
beberapa tahun kemudian tanpa disengaja kami bertemu kembali. Kali ini
kami bertemu sebagai partner kerja, yang tengah merampungkan sebuah
proyek besar. Dan lagi-lagi...saya sangat terpesona saat sedang
memerhatikan ia berbicara. Sosoknya begitu charming dan smart – sosok
yang termasuk kriteria pria idaman saya. Seiring berjalannnya waktu,
saya dan si dia pun semakin dekat. Seringkali kami menghabiskan waktu
bersama seusai bekerja, mengenang momen-momen saat kami sempat dekat
sewaktu kuliah, sampai menceritakan masalah pribadi kami masing-masing.
Sikap yang diberikannya pun semakin hari kian membuat saya jatuh cinta.
Dan ternyata, ia pun mencintai saya!
Saat sudah merasa cocok,
saya memintanya untuk bertemu dengan kedua orangtua saya, dan ia
mengiyakan. Sepertinya perasaan saya terbukti kalau ia benar-benar akan
menjadi pasangan hidup untuk selamanya. Saya benar-benar merasa bahagia
saat berada di dekatnya. Tak lama setelah ia bertemu dengan kedua orang
tua, akhirnya kami pun merencanakan pesta pernikahan. Walaupun
sahabat-sahabat saya sempat berkomentar, “Sepertinya ada yang aneh
dengan dirinya”. Pada awalnya saya sempat terkejut mendengar statement
mereka, tapi kemudian saya berpikir, “Ah, kan saya yang akan menjalani
pernikahan ini dengannya. Dan saya merasa bahagia bisa menjadi
pendamping hidupnya.” Akhirnya, saya memasang sikap tidak peduli.
Lagipula, selama ini sikap yang ditunjukkan si dia sangat menggambarkan
kalau ia juga jatuh cinta kepada saya.
Hari-hari menuju
pernikahan kian dekat, keyakinan saya juga semakin kuat. Kesibukan
untuk mendapatkan pesta pernikahan yang saya impikan pun sangat terasa.
Walau perselisihan atau perdebatan di antara kami kerap timbul, tapi
seringkali saya mengalah supaya tidak memperbesar masalah. Sehari
setelah kami mengikat janji suci, saya dan pasangan pergi honeymoon ke
Paris.
Rona bahagia dan rasa excited yang luar biasa terus saya
rasakan. Menjadi seorang istri dari pria yang saya idamkan selama ini
dan menjalani bahtera pernikahan dengan si dia – I feel like the
luckiest woman on earth! Setelah beberapa jam mengudara, akhirnya kami
tiba di salah satu airport kota yang memiliki menara Eiffel ini. Namun
di tengah hati yang berbunga-bunga, sontak saya dibuat terkejut. Karena
cincin yang semestinya terpatri di jari manisnya...tidak ada. Walau
selama hubungan berjalan saya kerap menjadi orang yang terus mengalah,
tapi kali ini...saya tak kuasa membendung amarah. Dengan ketus, saya
bertanya mengapa ia bisa menghilangkan cincin tersebut. Ia menjelaskan
bahwa mungkin cincin tersebut hilang ketika sedang memuat koper di
counter bandara. Dan yang membuat saya semakin murka, ekspresi yang
tampak di wajahnya sama sekali tidak menggambarkan penyesalan atau
kesedihan secuil pun. Entah bagaimana, ia malah sempat menyalahkan saya
karena raibnya cincin! Seketika semua rasa kebahagiaan dan impian saya
bersamanya HANCUR! Tepat di hari pertama bulan madu kami, saya baru
menyadari kalau ternyata ia bukan pasangan yang tepat buat saya.
Sinyal Yang Kerap Menghantui!
Setelah
kejadian itu, mata saya jadi terbuka lebar. Selama ini sinyal-sinyal
keraguan yang hadir di benak saya tidak tampak, akibat saya terlalu
mencintainya. Tiba-tiba saya jadi teringat statement yang kerap
dilontarkan oleh sahabat dan keluarga saya. Ternyata apa yang mereka
takuti selama ini benar adanya. Dan bodohnya, saya tidak mengindahkan
apa yang mereka katakan sebelumnya. Meski begitu, saya masih menjalani
pernikahan dengannya, walau terkadang kehidupan saya terasa sangat
hambar. Saya jadi teringat sewaktu Ayah mengiringi saya di altar, ia
sempat berbisik, “Kalau kamu ingin membatalkannya, hal ini belum telat
sayang.” Saat itu, ia melihat saya dengan tatapan penuh ragu – yang
saya sendiri bahkan tidak menyadarinya – namun saya tetap saja ingin
melanjutkan prosesi sakral tersebut, ditambah tidak ingin merusak momen
istimewa yang saya idam-idamkan selama ini.
Alhasil, saya pun
langsung memasang senyuman yang menandakan kalau saya tidak ragu
menikahinya. Karena saya sangat yakin akan ketulusan cintanya, karena
ia memiliki karier yang cemerlang, karena ia berasal dari keluarga yang
baik-baik, karena ia karismatik, dan karena ia sangat dihormati oleh
bawahannya. Hal itulah yang membuat saya semakin yakin untuk
melanjutkan pernikahan ini.
Namun apa yang saya yakini selama
ini ternyata salah. Berawal dari tragedi hari pertama saat kami tengah
honeymoon. Bahkan kami tidak pernah berhubungan seksual di malam
pernikahan kami. Ia pun tidak pernah membisikkan kalimat mesra dan
romantis, yang bertujuan untuk membuat jalinan asmara kami kian
bergelora. Yang hanya ia lakukan adalah...mengkritik, mengkritik dan
mengkritik. Ia selalu mengkritik melihat saya bersantai, mengkritik
saat saya makan terlalu banyak. Bahkan sempat berkomentar bahwa
sebagian besar uang yang dikeluarkan untuk honeymoon berasal dari
dirinya. Mungkin, pada saat itu saya terlalu fokus untuk mendapatkan
the perfect man yang akan melengkapi hidup saya nantinya. Tapi
nyatanya, semua itu tertutupi oleh besarnya cinta saya kepadanya, meski
sikap dan perlakuannya selama ini ternyata mengartikan sebuah
penolakan. Namun tetap saja, saya masih berharap hubungan kami masih
bisa diperbaiki.
"Saya Menemukan Cinta Sejati"
Setelah
lima tahun perjalanan pernikahan bersamanya, selama itu saya menyimpan
keraguan yang mendalam. Sampai suatu hari, akhirnya saya bercermin dan
mengakui kalau selama lima tahun ini saya telah membuat kesalahan
besar. Penyesalan pun kerap saya rasakan, karena dari awal pernikahan
saya tidak mengindahkan tanda-tanda yang datang, seperti kurangnya
gairah seksual di antara kami – walaupun pada awalnya saya masih
mengharapkan sebuah “keajaiban” – dan buruknya lagi, ia tidak
memperlihatkan ketertarikannya pada saya sekalipun. Ia selalu berpikir
kalau apa yang saya lakukan, hanyalah sia-sia. Semua itu disebabkan
karena kecemasan saya saat orang menilai kehidupan pribadi yang
dijalankan. Saya lebih memilih seorang pria yang memiliki power
ketimbang seseorang yang bisa membuat saya tertawa lepas, mengerti saya
apa adanya, hingga menghargai setiap tindakan saya.
Dan pada
suatu hari, keraguan saya pun diperkuat oleh sahabat saya. Saat bertemu
dengannya, segala permasalahan yang saya hadapi akhirnya tercurahkan.
Saya mengeluh kalau ternyata pasangan saya memang belum siap untuk
membina keluarga. Ia masih bersikap egois. Saya hanya bisa berharap
kalau nantinya anak yang saya lahirkan tidak seperti ayahnya kelak.
Lalu dengan bijak sahabat saya berujar, “Tapi kamu tidak mau kan kalau
nanti anak-anak kalian dibesarkan oleh rasa kebencian?” Saat itulah,
saya bertekad bulat untuk segera mengakhiri segala permasalahan ini dan
memulai hidup yang baru.
Delapan tahun kemudian, saya telah move
on, dan telah menemukan seseorang yang benar-benar mencintai saya apa
adanya. Selain itu, saya bisa melakukan apapun yang saya inginkan. Saya
bisa makan apa saja yang saya mau, bisa bersantai kapan saja, dan
hubungan seksual kami berdua pun juga sangat intens. Finally, I’m
connected to life again! Berbeda dengan sebelumnya, saat saya dan
pasangan tengah berargumentasi, justru emosi kami bisa diekspresikan
dengan baik dan tidak berakhir kosong. Saya merasakan kebahagiaan,
cinta, dan hidup yang penuh makna – sesuatu yang tidak pernah saya
alami pada saat hari pernikahan saya.
Sekarang saya pun memiliki
kebahagiaan yang utuh. Saya dan pasangan juga tidak memedulikan esensi
sebuah cincin pernikahan yang bisa mengingatkan saya akan cinta sejati.
Yang saya butuhkan adalah kejujuran dan rasa cinta yang tumbuh setiap
harinya.
Things That You Should Consider Before Saying 'I Do'
Ask Yourself First!
Tak
ada salahnya Anda meyakinkan diri dengan mengajukan beberapa pertanyaan
pada diri Anda. Seperti, “Apa ia benar-benar cinta sejati saya?” atau
“Apakah saya sudah siap menerima dirinya apa adanya?” Karena, jika Anda
masih punya ganjalan di hati, lebih baik pikirkan kembali keputusan
Anda ini.
Financial Problems
Bisa dibilang,
faktor yang satu ini benar-benar menjadi hal yang super sensitif saat
Anda memilih si dia untuk jadi pasangan hidup. Coba bicarakan secara
terbuka, apakah nantinya Anda atau si dia yang akan memegang kendali
keuangannya? Karena kalau tidak, hal ini malah bisa memicu pertengkaran
yang tiada habisnya.
Know Your Partner
Jangan
karena Anda tengah dilanda romansa asmara saja, jadi semua yang
dilakukannya pun bak sang ksatria yang usai menyelamatkan hidup Anda.
Buka mata dan pasang radar sensitivitas untuk lebih mengetahui si dia
yang sebenar-benarnya. At least, Anda mengerti kebiasaannya yang sangat
bertolak belakang dengan sifat Anda. Jadi mau tidak mau, Anda harus
menerimanya. (Cosmo/Bee)
Source: Cosmopolitan Edisi April 2012
No comments:
Post a Comment