Monday, August 6, 2012

Ternyata Dialah Jodohku


Jodoh, siapa sih yang bisa menebak dan mengetahuinya?

Tak ada seorangpun yang bisa tahu pasti siapa jodohnya. Tidak lewat kartu tarot, tidak juga lewat ramalan bintang apapun. Jodoh itu ya di tangan Allah, hanya Allah SWT saja yang mengetahui siapakah pasangan tulang rusuk kita.
Dibesarkan di lingkungan yang sama, aku dan Reza tumbuh sebagai sahabat baik. Seperti tak pernah ada batasan di antara kami, karena kami tahu seluk beluk dan kebiasaan masing-masing. Kami juga saling berbagi cerita, tentang keluarga, tentang teman, apapun yang bisa kami bahas sampai malam. Kebiasaan itu sudah kami lakukan sejak kecil dulu. Sambil duduk di atas genteng kamar dan membawa sebuah senter kecil, kami saling menceritakan semua kejadian sehari-hari.
Mengejar impian, kamipun akhirnya berpisah. Menempuh jalur pendidikan di kota besar yang saling berjauhan. Aku mengambil di Jogja, dan Reza di Jakarta.
Kamipun terlarut dalam kehidupan masing-masing. Sama-sama punya kekasih yang terkadang jadi bahan curhatan kami setiap ada waktu untuk chatting. Ya, meskipun kami berjauhan, kami masih intens berkomunikasi . Sudah seperti kakak adik, kami saling menjaga dan mengingatkan. Saling menguatkan, menghibur dan memberi semangat. Terkadang, jika kumat usilnya, Reza juga tak segan menggodaku. Tapi, yah... semuanya terasa seperti biasa saja. Kami saling mengerti posisi masing-masing, dan menganggap hubungan kami sebagai persahabatan sejati.
Lulus kuliah, kami memilih menetap di kota tempat kami kuliah. Sudah ada pekerjaan yang sama-sama menanti kami, dan juga pasangan. Bahkan beberapa bulan lagi, aku sudah merencanakan pernikahan dengan tunanganku, mas Tyo, kekasihku sejak semester 3. Aku pernah mengenalkan mas Tyo pada Reza, komentarnya simple, "ah, masih gantengan aku Ra!" katanya sambil tersenyum. Komentar narsis yang memang sejak dulu ia enggan dikalahkan siapapun dalam hal penampilan.
Aku sendiri juga sempat dikenalkan dengan kekasihnya, Arini namanya. Seorang gadis kota yang super enerjik dan cantik. Tak heran jika Reza tergila-gila padanya, cantiknya bagai artis di televisi. Herannya, Reza belum pernah bercerita dan mengungkapkan keinginannya meminang Arini. Padahal, setahuku secara materi Reza juga bisa dibilang sudah siap dan mapan.
***
Jelang empat bulan pernikahanku, komunikasiku dengan Reza semakin intens. Ia juga sering berkunjung ke Jogja dan stay untuk beberapa waktu karena urusan dinas.
Tak ingin membuang waktu, kamipun sering keluar bersama. Kuajak ia mengelilingi kota Jogja, menunjukkan setiap sudut kota yang menarik . Aku sendiri senang jalan-jalan dengannya, seperti tak pernah ada beban, selalu tertawa dan santai. Aku tak pernah khawatir ia akan marah bila aku tertegun pada sebuah barang lama . Reza juga sangat telaten menemaniku di waktu senggangnya, untuk sekedar makan es di pinggir jalan, atau duduk-duduk saja di depan sebuah toko larut malam. Terdengar seperti aktivitas sederhana yang biasa saja, tetapi aku merindukan kebersamaan itu. Kebersamaan dan perhatian yang tak pernah kudapatkan dari kekasihku, mas Tyo.
Sejak itulah, ada sebuah perasaan aneh di dalam diriku. Aku merasa benar-benar aku saat bersama Reza. Tapi, segera saja kutepis lamunanku. Ahh... mungkin ini karena aku merindukan masa laluku bersamanya waktu kecil dulu, pikirku.
***
Dua bulan lagi aku menikah. Aku mendapatkan kabar dari Reza bahwa ia segera pindah ke Jogja. Kantornya memberikan promosi untuk dirinya, dan kudengar jabatannya cukup bagus. Haha... tak kusangka, Reza yang dulu sering mengajakku membolos justru menjadi sosok yang sukses dalam pekerjaannya. Saat mengerjakan PR dan ulangan saja ia tak pernah absen menyalin hasil pekerjaanku. Tapi kini, ia menjadi sosok yang berbeda rupanya.

Jujur, aku deg-degan mendengarkan kabar itu. Senang bercampur bingung. Bagaimana kalau... Ah, sedang berpikir tentang apa sih aku ini. Kan dua bulan lagi aku akan menikah dengan mas Tyo. Lagipula, Reza adalah sahabat sejak kecil dan sudah seperti saudara sendiri. Dipeluk dan digandeng olehnya sudah biasa, bukan seperti hal yang istimewa, walaupun kuakui, ada kenyamanan yang luar biasa saat itu...

Hari yang membuatku deg-deganpun datang. Aku sendiri yang akhirnya menjemput Reza di bandara. Mengantarnya ke sebuah rumah, yang sudah disiapkan perusahaan untuknya. Rumahnya sederhana sih, kecil, tapi kelihatannya nyaman. "Nah, sekarang aku sudah tinggal di sini, aku nggak mau ah jajan di luar. Kamu yang harus memasak untukku Ra," katanya sambil meletakkan semua tas dan menghitung kembali dos-dos yang masih dipacking rapi. "Enak aja, buruan nikah sana... biar ada yang ngurusin kamu," aku melemparkan sebuah bantal sofa yang sedang kurapikan. "Sama siapa? sama kamu?", timpalnya membuatku terdiam.

Tampaknya Reza menyadari perubahan mimik wajahku, iapun sejenak terdiam dan beringsut ke kamar membawa serta barang-barang yang hendak dikeluarkan. Aku masih sibuk merapikan bantal-bantal di ruang keluarga. Terduduk di sofa dan memandang keluar ke arah jendela. Tanpa kusadari, ternyata Reza telah duduk di sebelahku. Mengambil bantal yang ada di pangkuanku, dan mencium lembut bibirku. Aku terhenyak, memandangnya dan terdiam selama beberapa detik sebelum kemudian menghujaninya dengan pukulan bantal. Ia hanya tertawa, dan perang bantalpun terjadi. Aku benar-benar teringat pada masa kecilku, masa yang penuh keceriaan dan perhatian hangat dari Reza.
***
"Gimana kalau kita menikah, Ra?" pertanyaan Reza terdengar seperti mimpi bagiku, mimpi yang mungkin jadi kenyataan. Aku masih tak percaya, ini kenyataan atau mimpi ya. "Ini bukan mimpi, Ra. Kepindahanku ke Jogja ini sebenarnya sudah kurencanakan sejak lama. Aku memilih Jogja karena ada kamu di sini..." katanya.
"Lantas, bagaimana dengan Arini?" tanyaku.
"Hubunganku sudah lama tak berhasil dengannya. Aku tak bisa menghilangkan kamu dari pikiranku. Kamu boleh percaya boleh tidak, semua itu sudah kurasakan semenjak masuk bangku kuliah dulu. Ada yang hilang saat jauh dari kamu. Tapi kemudian kudengar kamu sudah punya pacar. Eh, sekarang malah mau menikah..."

"Nah, itu kamu tahu aku sudah mau menikah. Bulan depan aku mau nikah Za. Kamu ini gila atau cuma mau ngerjain aku aja sih?" aku jadi marah bercampur excited. Rasa yang tak karuan dan sekaligus langsung membuatku stress saat itu juga. Reza memegang tanganku, berlutut di depanku dan meminangku bak adegan di televisi. "Aku serius Ra, aku nggak bisa hidup jauh dari kamu. Aku merasa dan aku yakin kamu belahan jiwaku. Dan aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama..."
***
Dengan besar hati, mas Tyo menerima keputusanku. Dia tidak marah, dia malah mendoakan kebahagiaanku. Pesta pernikahan yang tadinya hendak kulangsungkan dengannya, mendadak digantikan oleh Reza. Dan anehnya, semua surat dan pengurusan bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Rasanya seperti sebuah kebetulan yang sudah diatur. Tidak ada kendala apapun dalam pernikahan kami yang mendadak itu.
Untuk itulah aku percaya, Reza, dialah jodohku yang sebenarnya. (vem/bee)

No comments:

Post a Comment