Thursday, June 7, 2012

Prometheus : Definisi Baru Film Fiksi Ilmiah Dari Seorang Ridley Scott

Saat Ridley Scott mengumumkan bahwa ia menggarap Prometheus, sebuah film ber-genre fiksi ilmiah kembali, hal itu lantas seolah menjadi "perayaan" besar bagi para pecandu sinema. Penggemar berat Alien, lantas sangat antusias saat beredar kabar bahwa Prometheus adalah semacam prekuel dari Alien. 33 tahun berlalu sejak film pertama Alien dirilis, hingga Prometheus diluncurkan. Lalu apakah benar film ini menjadi prekuel Alien seperti yang didengung-dengungkan?

Prometheus bisa disebut sebagai prekuel tak langsung dari Alien, karena film ini tidak berkisah tentang masa yang langsung berhubungan dengan kejadian di film Alien, namun masih memiliki beberapa benang merah penghubung.
Prometheus  juga menawarkan sesuatu yang seimbang, baik bagi penggemar setia film Alien, juga bagi penonton awam.
Yang jelas Prometheus membuktikan bahwa Ridley Scott adalah salah satu sutradara terhebat yang pernah ada di Planet Bumi. Film ini juga seolah mendefiniskan ulang hakikat film fiksi ilmiah yang sebenarnya, karena bukan hanya lewat desain produksi epik, juga menawarkan konsep pemikiran yang provokatif.

Prometheus dibuka dengan opening sequence yang sangat indah. Pemunculan planet Bumi dengan iringan score megah karya Marc Streitenfeld , yang kemudian disusul dengan pemaparan relief Bumi zaman purba. Pegunungan gigantik, samudra luas, dan juga hamparan gurun disajikan dengan epik dan menggetarkan hati. Akan tetapi ada sebuah siluet raksasa yang membayangi pemandangan itu. Sebuah kapal angkasa luar berukuran raksasa.
Lalu ada sebuah mahluk berpenampilan ganjil berkulit putih pucat dengan struktur muka seperti Lord Voldemort di Harry Potter muncul. Dia mengeluarkan sebuah benda aneh dan kemudian menelan sesuatu, lantas ia jatuh ke dalam air, kemudian lantas meluruh menjadi rangkaian partikel-partikel DNA yang larut dalam air.

Adegan kemudian beralih pada tahun 2089. Di sebuah tempat yang kemudian kita tahu bernama Skye Island di dataran Skotlandia. Sekelompok ilmuwan biologi, dipimpin oleh Elizabeth Shaw (Noomi Rapace - The Girl with the Dragon Tattoo, Sherlock Holmes : A Game of Shadows) dan suaminya, Charlie Halloway (Logan-Marshall Green), menemukan sebuah relief yang dilukis di dinding gua purba.
Relief tersebut menampilkan sebuah gambar manusia raksasa yang menunjuk beberapa bayangan bulat, sesuatu yang kemudian diidentifikasikan sebagai mahluk dari dimensi lain dan terkait erat dengan asal-usul manusia.

"I think they want us to come and find them," ujar Elizabeth Shaw memaknai relief purba itu.
Adegan lalu beralih ke sebuah seting kapal ekspedisi luar angkasa bernama Prometheus, di tahun 2093, yang sedang berada di sebuah gugusan planet berjarak jutaan kilometer dari Bumi.
Sebuah robot android bernama David (Michael Fassbender), terlihat sendirian melakukan aktivitas di dalam Prometheus. Ia bermain bilyar, menonton tayangan film jadul di mana ada karakter William Potter (film klasik Lawrence of Arabia-1962) dan terlhat hapal setiap dialog dalam film tersebut.

David adalah sebuah android cerdas berumur puluhan tahun. Ia bisa memahami Schleicher fable ( sebuah teks artifisial berisi bahasa kuno Avis akv?sas ka, yang bertujuan untuk merekonstruksi bahasa yang disebut Proto-Indo-European-red).
David ternyata hanyalah salah satu penghuni Prometheus, yang juga berisi para ilmuwan. Para ilmuwan tersebut dikontrak oleh perusahaan konglomerasi besar, Weyland Corporation, sebuah perusahaan fiktif ikonik di dunia Alien.

Prometheus berawakan Janek- pemegang kendali kapal (diperankan oleh Idris Elba), supervisor wanita ekspedisi bersikap dingin, Merdith Vickers (Charlize Theron), Elizabeth Shaw, Charlie Halloway, ilmuwan geologi bernama Fifield (Sean Harris), Millburn (Rafe Spall), Chance (Emmun Elliot), Ravel (Benedict Wong), serta ilmuwan wanita bernama Ford (Kate Dickie).
Mereka mengalami hibernasi selama dua tahun, sepanjang perjalanan dari Bumi ke planet yang mereka tuju.

Perjalanan Prometheus didanai oleh Peter Weyland (Guy Pearce), yang memiliki kesamaan visi dengan Shaw-Halloway, bahwa manusia diciptakan oleh sebuah ras luar angkasa dan bahwa mereka bisa menemukan keberadaan para pencipta yang kemudian disebut sebagai " Engineers".
Perjalanan Prometheus lalu berakhir di sebuah planet bernama LV-223, yang diyakini sebagai kediaman para engineers.

Planet LV-223 adalah sebuah planet dengan komposisi udara yang tidak memungkinkan manusia untuk tinggal. Awalnya mereka skeptis dengan kemungkinan bahwa ada mahluk yang tinggal di sini.
Sampai kemudian mereka menemukan sebuah artefak raksasa di LV-233. Ternyata ada sebuah pintu masuk ke dalam artefak dan ada sebuah peninggalan maha penting di dalamnya.
David bisa memecahkan kode masuk, sehingga semua ilmuwan bisa masuk ke dalam artefak itu. Elizabeth Shaw dan teman-teman terkejut, kala komposisi udara di dalam artefak memungkinkan mereka untuk bisa bernafas layaknya di Bumi. Akan tetapi itu bukanlah satu-satunya kejutan yang mereka temui. Mereka berhasil menemukan para engineers, walau akhirnya penemuan para ilmuwan Prometheus menghantarkan mereka kepada suatu fakta dan juga teror maut.

KONSEP PENCIPTAAN MENURUT AGAMA SAMAWI, TEORI CHARIOTS OF THE GODS, MITOLOGI YUNANI DAN INDUSTRI KAPITALIS

Tepat bila Prometheus disebut berhasil mendefinisikan ulang film fiksi ilmiah secara koheren. Film ini menawarkan banyak sekali filosofi -filosofi mengenai teori penciptaan sehingga menjadikan film ini sangat indah. Film ini mengusik sisi relijius seseorang yang selama ini percaya bahwa Bumi, manusia dan segala mahluk penghuninya, diciptakan lewat teori Penciptaan. Sebuah teori yang termaktub dalam kitab-kitab agama samawi, seperti Islam, Kristen ataupun Yahudi.
Pertanyaan tentang penciptaan dan asal-usul manusia yang terlontar lewat Prometheus adalah sebuah pertanyaan sederhana yang sering muncul dari sosok anak kecil. Sesuatu yang sederhana, namun juga pelik.

Prometheus menyajikan persinggungan antara spiritual keagamaan, scientology, dan juga jiwa industri kapitalis yang korup dan maruk. Sisi spiritual keagamaan diwakili oleh karakter Elizabeth Shaw (Noomi Rapace). Kerelijiusan Shaw jelas terwakili oleh simbol keagamaan berupa kalung salib yang dikenakannya. Dalam suatu adegan juga diperlihatkan, saat mengalami hibernasi, karakter android David (Michael Fassbender), bisa melihat memori Shaw semasa kecil.
Dalam memorinya, Shaw terlibat dialog dengan ayahnya perihal taman firdaus dan juga kemana orang-orang akan berpulang setelah mati. Ayah Shaw (diperankan oleh Patrick Wilson), diperlihatkan sebagai karakter yang mempercayai agama secara turun temurun.  Setidaknya itulah yang digambarkan saat menjawab pertanyaan Elizabeth Shaw kecil tentang bagaimana sang ayah tahu penggambaran taman firdaus yang indah.
"Cause it's the thing that I used to believe," ujar sang ayah menjawab pertanyaan Shaw kecil. Sebuah kilas balik yang kemudian menjelaskan karakter sesungguhnya Elizabeth Shaw sebagai seorang anak yang dibesarkan dari lingkungan relijius dan perjalanan ekspedisi Prometheus dipakainya sebagai sarana untuk membuktikan pandangan keagamaan yang menjejalinya selama bertahun-tahun.

Sementara ada karakter yang percaya dengan aliran scientology. Sebuah aliran yang melandaskan teori penciptaan terbentuk berkat campur tangan mahluk dari planet lain. Dia adalah kekasih Shaw, Charlie Halloway. Di film ini terlihat jelas bahwa ia adalah pribadi yang percaya teori Chariots of Gods : Unsolved Mysteries of the Past ( dalam bahasa Jerman ditulis Erinnerungen an die Zukunft: Ungelöste Rätsel der Vergangenheit) dan ditulis oleh penulis berkebangsaan Jerman, Erich von Daniken di tahun 1968.

Chariots of the Gods : Unsolved Mysteries of the Past mencantumkan hipotesis bahwa teknologi. Kebudayaan dan keyakinan bangsa-bangsa kuno seperti Maya, Babylonia, Mesir Kuno hingga ke Sumeria adalah merupakan sumbangsih sebuah mahluk angkasa luar yang disebut sebagai "astronot" atau dalam Prometheus disebut sebagai engineer.
Indikasi bahwa Charlie Halloway sebagai seorang penganut scientology dan percaya pada teori Chariots of the God,  jelas terpapar saat ia mempresentasikan tentang peninggalan-peninggalan kebudayaan kuno merujuk pada satu konklusi, mahluk dari planet lain adalah pencipta kebudayaan dan manusia di Bumi.

Lalu ada karakter berjiwa industrialis kapitalis, Peter Weyland dan Meredith Vickers. Mereka adalah orang yang menghambakan uang. Bagi mereka uang dan modal besar adalah sarana "relijius" mereka. Mereka tidak peduli pada sisi relijius dan filsosofi, apalagi sisi humanisme. Mereka bekerja dalam mekanisme mesin, dingin, tidak berperasaan dan sangat terikat pada aturan yang mereka ciptakan untuk memastikan mereka hidup nyaman.

Keputusan mereka mendanai ekspedisi bukanlah sebagai bentuk kegelisahan terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang asal-usul manusia. Namun, lebih karena jiwa pedagang mereka untuk mendapatkan sebuah keuntungan duniawi.
Karakter-karakter industrialis kapitalis seperti Peter Weyland dan Meredith Vickers, juga "menjadi Tuhan" dengan cara mereka sendiri. Produknya adalah David, sang android.
David adalah semacam personifikasi lain dari konsep penciptaan. Ia diciptakan bukan lewat sebuah desain agung seperti manusia, sehingga ia hanyalah mesin tak berjiwa. Sama seperti penciptanya, Peter Weyland dan Meredith Vickers.

Ketiga jenis karakter berbeda visi itu kemudian mengalami perbenturan kepentingan satu sama lain. Penulis naskah Prometheus, Jon Spaihts dan Damon Lindelof, memasukan berbagai isu keyakinan yang cerdasnya tidak lantas menjadi suatu khotbah panjang menjemukan.
Selain menyajikan teori Chariots of the Gods, judul Prometheus sendiri menawarkan suatu filosofi yang relevan dengan konteks filmnya.

Prometheus adalah sebuah karakter dalam mitologi Yunani. Ia adalah seorang raksasa, putra dari Iapetus dan Clymene. Prometheus lalu mencuri api dari dewa tertinggi mitologi Yunani, Zeus, untuk dipersembahkan ke manusia. Prometheus lalu dihukum oleh Zeus yang mengikatnya di sebuah batu karang, lalu membiarkan burung elang mematuki dan memakan hatinya, untuk kemudian dibiarkan tumbuh lagi.




Prometheus kemudian menjadi metafora siklus kehidupan, pengorbanan, dan juga pemberontakan terhadap tatanan mapan.
Hal ini relevan dengan isu dalam film Prometheus sendiri. Kapal ekspedisi luar angkasa raksasa itu seolah menghantarkan manusia dalam misi menemui "dewa tertinggi", mahluk yang mereka percayai sebagai engineer, pencipta manusia. Sama layaknya dewa tertinggi Yunani, Zeus.
Simbol perlawanan terhadap Prometheus diperlihatkan dengan pemberontakan para ilmuwan dengan konsep penciptaan yang termaktub dalam agama samawi. Bahwa mereka percaya dengan teori penciptaan manusia berkat campur tangan mahluk planet lain.
Mahluk diduga alien, engineer alias Space jockey dalam semesta Alien milik Ridley Scott, juga digambarkan bertubuh raksasa, seperti halnya karakater Prometheus dalam mitologi Yunani. Mereka juga digambarkan "berkorban" sehingga terciptanya manusia di kemudian hari.

Meskipun tidak dijelaskan eksplisit, namun "pengorbanan" sang Engineer alias Space Jockey tergambarkan lewat adegan awal Prometheus seperti yang digambarkan di paragraph 18 ulasan film ini. Logika berpikir kemudian tersambung saat pada sebuah penelitian struktur DNA yang dilakukan oleh Elizabeth Shaw dan Ford ditemukan persamaan DNA antara engineers dan manusia.
Bukankah manusia terbentuk melalui medium air dan tanah? Hal itu terjelaskan di adegan awal film ini.

Isu terbesar yang diusung oleh Prometheus adalah pertanyaan mengenai Tuhan itu apa dan siapakah pihak yang menciptakan manusia. Prometheus menyajikan isu tersebut dalam sebuah film yang asik untuk ditonton, namun tetap menawarkan pemikiran-pemikiran dalam.
Juga terdapat suatu pemikiran bahwa untuk menciptakan sebuah kehidupan baru, harus terlebih dahulu menghancurkan kehidupan yang lama. Seperti konsep kiamat dan kebangkitan.  Kemudian motivasi para space jockey alias engineer menghancurkan manusia juga terjawab dalam film ini. Bahwa untuk menciptakan kehidupan baru yang dianggap ideal, haruslah mengorbankan kehidupan lama.

HUBUNGAN PROMETHEUS movies DENGAN ALIENS movies?
Seperti terjelaskan di awal ulasan ini, Prometheus secara seimbang menyajikan cerita yang terhubung dengan Alien dan memaparkan cerita baru yang berdiri sendiri.
Sehingga film ini seolah menjadi win win solution antara penggemar berat film Alien dan penonton awam.

Ada beberapa elemen sama antara Prometheus dan Alien, yang membuat para penggemar setia film Alien bisa berpendapat bahwa Prometheus adalah semacam prekuel.
Persamaan terbesar antara Alien dan Prometheus adalah bahwa kedua film berisi pertanyaan besar tentang siapakah yang menciptakan manusia. Pertanyaan , yang seperti dipaparkan di atas, mengingatkan penulis akan buku Chariots of the Gods.

Persamaan lainnya adalah karakter wanita Elizabeth Shaw dan Ellen Ripley dari Aliens (1979). Ada beberapa karakter di antara mereka yang serupa. Morfologi wajah, sifat tangguh dan juga ada beberapa momentum lainnya.
Akan tetapi juga ada perbedaan di antara mereka berdua. Elizabeth Shaw adalah karakter yang digambarkan percaya akan keyakinan agama, sementara Ellen Ripley tidak.
Persamaan lain adalah, baik Alien ataupun Prometheus, sama-sama menyajikan sang space jockey alias sang engineer. Di Prometheus cerita lebih berfokus pada sang space jockey alias engineer dan bagaimana rupa mereka sebenarnya.

Prometheus dan Alien berbeda saat menyebut planet tempat terjadinya peristiwa di masing-masing film. Di Prometheus kejadian berlangsung di planet LV-223, sementara kejadian di film pertama Alien berlangsung di planet LV-426.

Prometheus dan Alien juga sama-sama "didanai" oleh Weyland Corp. Sebuah perusahaan fiktif berpengaruh dalam dunia Alien. Jangan lewatkan hingga setelah credit title, ada post credit bumper, menjelaskan betapa berpengaruhnya Weyland Corp. dalam film ini.
Lalu ditampilkan juga asal mula mahluk yang kemudian disebut xenomorph dalam film ini. Xenomorph yang kemudian menjadi trade mark di setiap film Alien.

SELAMAT DATANG KEMBALI DI GENRE FIKSI ILIMIAH, RIDLEY SCOTT!
Terlepas dari perdebatan hubungan antara Prometheus dan Aliens, naskah garapan Damon Lindelof (ditulis bersama Jon Spaihts), berhasil menyajikan suatu cerita yang tidak terpaku sepenuhnya sebagai prekuel Alien, melainkan juga memaparkan cerita yang secara signifikan lebih besar secara isu dan lebih menarik, jika dibandingkan dengan materi di film Alien.

Prometheus menyediakan beberapa jawaban dari pertanyaan yang muncul dari penggemar berat film Alien, tapi di sisi lain juga menimbulkan banyak pertanyaan besar lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan tentang horor mahluk dalam Prometheus, juga pertanyaan mengenai posisi manusia dalam teori penciptaan kosmik. Sebagai hasilnya koneksi sesungguhnya film ini dengan dunia Alien, terlihat samar, kecuali jika Anda mencermati banyak subtle meaning yang terdapat lewat simbolisasi dan filosofi di beberapa adegan.
Jika Anda mencermati, ada beberapa kejadian yang dibuat paralel dan itu menjelaskan antara adegan satu dengan adegan lainnya.

Prometheus adalah satu contoh yang didukung banyak sekali elemen-elemen terbaik yang bisa dikumpulkan dalam sebuah film.
Dari segi departemen akting, seluruh pemain utama Prometheus menyajikan suatu permainan akting yang bisa dinikmati, serta berujung kita percaya dengan akting mereka. Indikasi keberhasilan akting seorang pemain tentu saja bila penonton percaya pada karakter yang dimainkan.
Charlize Theron, Idris Elba dan Logan-Marshal Green menyajikan akting sesuai konteks. Tapi yang menonjol memanglah Noomi Rapace dan juga Michael Fassbender.

Karakter mereka sebagai Elizabeth Shaw dan robot android, David, kemudian menjadi karakter yang tidak bisa dilupakan. Noomi Rapace mampu menghantarkan ketangguhan, kerapuhan, juga kecerdasan yang harus dimiliki karakter Elizabeth Shaw. Kredit khusus Noomi perlu diberikan saat ada adegan brutal.
Sementara, Michael Fassbender berhasil menjadikan David sebagai karakter android paling mempesona, sekaligus paling menyebalkan, di tahun 2012 ini. Fassbender mampu menyuguhkan David, android yang polos sekaligus manipulatif.

Prometheus juga unggul dalam depertemen artistik, sehingga film ini bisa dikatakan sebagai salah satu film dengan estetika produksi terbaik.
Ridley Scott, bekerja sama dengan desain produksi Arthur Max, berhasil menyajikan suatu tampilan indah dan epik. Bukan rahasia bila Ridley berkeras menyajikan set yang dibangun, bukan hanya bentukan efek CGI.
Ridley Scott membangun dunia Prometheus secara sungguhan lewat set luar biasa, sehingga menampilkan estetika visual masterpiece. Ridley dan Arthur sukses mendefinisikan ulang apa itu tampilan visual film fiksi ilmiah di industri film modern.
Saat ini studio besar dengan mudah bisa membuat set epik lewat bantuan green screen, serta computer generated imagery (CGI). Spectacle visual yang kadang terkesan hampa, semisal di Transformers : Dark of the Moon ataupun Battleship. Hal ini terjadi karena film-film tadi mengandalkan efek visual, tanpa mengindahkan elemen inti film-making . Seperti pembangunan dunia imajinasi kompeten (tidak hanya berdasar CGI) ataupun komposisi adegan cerdas ( tidak hanya ledakan-ledakan tanpa makna).

Prometheus mampu menyajikannya semua elemen penting dalam proses film-making sebuah fiksi ilmiah, sehingga menjadi sesuatu yang baru. Kembali ke awal penciptaan, sama seperti tema filmnya.
Prometheus juga epik dari segi sinematografi garapan Dariusz Wolski ( waralaba Pirates of the Caribbean, Alice in Wonderland). Dariusz menghadirkan banyak lansekap indah, pergerakan kamera dinamis, serta gambar berkualitas fantastis.
Prometheus diambil melalui kamera 3D langsung (keluaran Red Cam) dan layaknya Avatar dan Hugo, Prometheus menjadi bukti bahwa di tangan sutradara cerdas dan tepat, teknologi 3D bisa menyuguhkan film luar biasa. Tidak hanya gambar berlapis yang memusingkan kepala, seperti Man in Black 3 atau Clash of the Titans.
Ridley Scott lewat Prometheus seolah mengajari sineas baru bahwa inilah pemanfaatan 3D tepat guna.

Akan tetapi Prometheus juga tidak luput dari kelemahan. Kelemahan yang terbesar adalah pada pengembangan karakter.
Beberapa karakter seperti Fifield, Millburn ataupun Chance terlihat hanya menjadi objek penderita. Mereka hanyalah "tumbal" untuk mencapai klimaks film.
Sama seperti karakter Peter Weyland yang diperankan oleh Guy Pearce. Weyland adalah seorang pria tua. Sepanjang film ia ditampilkan sebagai pria renta dalam balutan make-up. Proporsinya yang hanya sekelumit, membuat sebenarnya tidak perlu memasang aktor sekaliber Guy Pearce untuk memerankan Peter Weyland.

Tapi terlepas itu, Prometheus menjadi semacam momentum kembalinya Scott Ridley di genre fiksi ilmiah. Ridley mampu menyajikan sebuah film fiksi ilmiah yang memiliki storyline luar biasa, tampilan visual menakjubkan dan menggetarkan, serta pilihan-pilihan elemen film-making yang tepat.
Semua itu disajikan Prometheus dalam sebuah film blockbuster, yang akhir-akhir ini menafikan elemen-elemen penting itu.

Prometheus membuat para penggemar Alien terpuaskan, sementara penonton awam mungkin agak kesulitan memahami simbolisasi dalam film ini.
Prometheus seolah menjadi ajang promosi bagi para penonton awam, untuk kembali merunut dan menonton rangkaian seri Alien sebelum ini.
Hal ini sesuai dengan pernyataan karakter robot android David dalam film ini, "Big things have small beginnings". Prometheus menjadi awal bagi berkembangnya dunia alien baru versi Ridley Scott berikutnya.


cekidot preview nya di sini gan :




No comments:

Post a Comment