Sunday, May 27, 2012

Saya Sadar Telah Menikahi Orang Yang Salah

Di tengah kebahagiaan yang telah dijalaninya, Carolyn York, 27 tahun, kerap dihinggapi rasa bersalah yang kian mendalam. Dengan kebimbangannya tersebut, ia pun tidak bisa menikmati gelar barunya sebagai the newlywed.

Sewaktu kecil saat tengah berandai-andai tentang masa depan, tentu Anda kerap berpikir kalau kehidupan yang akan Anda dan pasangan jalani nantinya layaknya seperti kisah fairy tale – menunggu sosok pangeran tampan dan gagah yang berani membuktikan cintanya, dan mendambakan perjalanan romansa pernikahan yang selalu diselimuti dengan kebahagiaan. Well...pasti hal tersebut pernah terlintas saat Anda sedang menjalani hubungan bersama sang kekasih. Mendapatkan sosok Mr. Right, menjalani kehidupan bersamanya, bahkan bersama dengan pasangan membangun fondasi pernikahan yang kokoh. Meski pada kenyataannya, menjalin sebuah pernikahan itu tidak hanya bermodalkan sebuah cinta sejati saja, karena kita mesti mengetahui kekurangan dan kelebihan pasangan untuk benar-benar bisa menjalani hubungan yang happily ever after.

Pernikahan tidak hanya tentang perasaan individual semata, tapi Anda dan pasangan harus bekerja keras untuk menjadi satu tim yang kuat dan dapat menyelesaikan segala halang rintang yang melanda Anda berdua setiap harinya.

Nasehat-nasehat itulah yang kerap terlontar dari mulut orangtua saya, saat sang kekasih melamar dan meminta saya untuk menjadi pasangan seumur hidupnya. Merasa bahagia? Pasti. Saya bertemu dengan si dia saat kami masih duduk di bangku kuliah, perawakannya gagah dan tampan, dan dia pun aktif dalam kegiatan di kampusnya. That’s why, saya sangat tertarik dengannya, karena saat melihatnya saya memiliki perasaan yang kuat kalau ia akan menjadi pasangan saya kelak. Meski pada saat itu kami masih sama-sama memiliki kekasih, namun hal itu tidak mematahkan semangat saya untuk tetap dekat dengannya. Kami pun menjadi sahabat dekat sejak itu. Ya...walaupun saya dan dia sempat berpisah setelah kami lulus, tapi beberapa tahun kemudian tanpa disengaja kami bertemu kembali. Kali ini kami bertemu sebagai partner kerja, yang tengah merampungkan sebuah proyek besar. Dan lagi-lagi...saya sangat terpesona saat sedang memerhatikan ia berbicara. Sosoknya begitu charming dan smart – sosok yang termasuk kriteria pria idaman saya. Seiring berjalannnya waktu, saya dan si dia pun semakin dekat. Seringkali kami menghabiskan waktu bersama seusai bekerja, mengenang momen-momen saat kami sempat dekat sewaktu kuliah, sampai menceritakan masalah pribadi kami masing-masing. Sikap yang diberikannya pun semakin hari kian membuat saya jatuh cinta. Dan ternyata, ia pun mencintai saya!

Saat sudah merasa cocok, saya memintanya untuk bertemu dengan kedua orangtua saya, dan ia mengiyakan. Sepertinya perasaan saya terbukti kalau ia benar-benar akan menjadi pasangan hidup untuk selamanya. Saya benar-benar merasa bahagia saat berada di dekatnya. Tak lama setelah ia bertemu dengan kedua orang tua, akhirnya kami pun merencanakan pesta pernikahan. Walaupun sahabat-sahabat saya sempat berkomentar, “Sepertinya ada yang aneh dengan dirinya”. Pada awalnya saya sempat terkejut mendengar statement mereka, tapi kemudian saya berpikir, “Ah, kan saya yang akan menjalani pernikahan ini dengannya. Dan saya merasa bahagia bisa menjadi pendamping hidupnya.” Akhirnya, saya memasang sikap tidak peduli. Lagipula, selama ini sikap yang ditunjukkan si dia sangat menggambarkan kalau ia juga jatuh cinta kepada saya.

Hari-hari menuju pernikahan kian dekat, keyakinan saya juga semakin kuat. Kesibukan untuk mendapatkan pesta pernikahan yang saya impikan pun sangat terasa. Walau perselisihan atau perdebatan di antara kami kerap timbul, tapi seringkali saya mengalah supaya tidak memperbesar masalah. Sehari setelah kami mengikat janji suci, saya dan pasangan pergi honeymoon ke Paris.

Rona bahagia dan rasa excited yang luar biasa terus saya rasakan. Menjadi seorang istri dari pria yang saya idamkan selama ini dan menjalani bahtera pernikahan dengan si dia – I feel like the luckiest woman on earth! Setelah beberapa jam mengudara, akhirnya kami tiba di salah satu airport kota yang memiliki menara Eiffel ini. Namun di tengah hati yang berbunga-bunga, sontak saya dibuat terkejut. Karena cincin yang semestinya terpatri di jari manisnya...tidak ada. Walau selama hubungan berjalan saya kerap menjadi orang yang terus mengalah, tapi kali ini...saya tak kuasa membendung amarah. Dengan ketus, saya bertanya mengapa ia bisa menghilangkan cincin tersebut. Ia menjelaskan bahwa mungkin cincin tersebut hilang ketika sedang memuat koper di counter bandara. Dan yang membuat saya semakin murka, ekspresi yang tampak di wajahnya sama sekali tidak menggambarkan penyesalan atau kesedihan secuil pun. Entah bagaimana, ia malah sempat menyalahkan saya karena raibnya cincin! Seketika semua rasa kebahagiaan dan impian saya bersamanya HANCUR! Tepat di hari pertama bulan madu kami, saya baru menyadari kalau ternyata ia bukan pasangan yang tepat buat saya.

Sinyal Yang Kerap Menghantui!
Setelah kejadian itu, mata saya jadi terbuka lebar. Selama ini sinyal-sinyal keraguan yang hadir di benak saya tidak tampak, akibat saya terlalu mencintainya. Tiba-tiba saya jadi teringat statement yang kerap dilontarkan oleh sahabat dan keluarga saya. Ternyata apa yang mereka takuti selama ini benar adanya. Dan bodohnya, saya tidak mengindahkan apa yang mereka katakan sebelumnya. Meski begitu, saya masih menjalani pernikahan dengannya, walau terkadang kehidupan saya terasa sangat hambar. Saya jadi teringat sewaktu Ayah mengiringi saya di altar, ia sempat berbisik, “Kalau kamu ingin membatalkannya, hal ini belum telat sayang.” Saat itu, ia melihat saya dengan tatapan penuh ragu – yang saya sendiri bahkan tidak menyadarinya – namun saya tetap saja ingin melanjutkan prosesi sakral tersebut, ditambah tidak ingin merusak momen istimewa yang saya idam-idamkan selama ini.

Alhasil, saya pun langsung memasang senyuman yang menandakan kalau saya tidak ragu menikahinya. Karena saya sangat yakin akan ketulusan cintanya, karena ia memiliki karier yang cemerlang, karena ia berasal dari keluarga yang baik-baik, karena ia karismatik, dan karena ia sangat dihormati oleh bawahannya. Hal itulah yang membuat saya semakin yakin untuk melanjutkan pernikahan ini.

Namun apa yang saya yakini selama ini ternyata salah. Berawal dari tragedi hari pertama saat kami tengah honeymoon. Bahkan kami tidak pernah berhubungan seksual di malam pernikahan kami. Ia pun tidak pernah membisikkan kalimat mesra dan romantis, yang bertujuan untuk membuat jalinan asmara kami kian bergelora. Yang hanya ia lakukan adalah...mengkritik, mengkritik dan mengkritik. Ia selalu mengkritik melihat saya bersantai, mengkritik saat saya makan terlalu banyak. Bahkan sempat berkomentar bahwa sebagian besar uang yang dikeluarkan untuk honeymoon berasal dari dirinya. Mungkin, pada saat itu saya terlalu fokus untuk mendapatkan the perfect man yang akan melengkapi hidup saya nantinya. Tapi nyatanya, semua itu tertutupi oleh besarnya cinta saya kepadanya, meski sikap dan perlakuannya selama ini ternyata mengartikan sebuah penolakan. Namun tetap saja, saya masih berharap hubungan kami masih bisa diperbaiki.

"Saya Menemukan Cinta Sejati"
Setelah lima tahun perjalanan pernikahan bersamanya, selama itu saya menyimpan keraguan yang mendalam. Sampai suatu hari, akhirnya saya bercermin dan mengakui kalau selama lima tahun ini saya telah membuat kesalahan besar. Penyesalan pun kerap saya rasakan, karena dari awal pernikahan saya tidak mengindahkan tanda-tanda yang datang, seperti kurangnya gairah seksual di antara kami – walaupun pada awalnya saya masih mengharapkan sebuah “keajaiban” – dan buruknya lagi, ia tidak memperlihatkan ketertarikannya pada saya sekalipun. Ia selalu berpikir kalau apa yang saya lakukan, hanyalah sia-sia. Semua itu disebabkan karena kecemasan saya saat orang menilai kehidupan pribadi yang dijalankan. Saya lebih memilih seorang pria yang memiliki power ketimbang seseorang yang bisa membuat saya tertawa lepas, mengerti saya apa adanya, hingga menghargai setiap tindakan saya.

Dan pada suatu hari, keraguan saya pun diperkuat oleh sahabat saya. Saat bertemu dengannya, segala permasalahan yang saya hadapi akhirnya tercurahkan. Saya mengeluh kalau ternyata pasangan saya memang belum siap untuk membina keluarga. Ia masih bersikap egois. Saya hanya bisa berharap kalau nantinya anak yang saya lahirkan tidak seperti ayahnya kelak. Lalu dengan bijak sahabat saya berujar, “Tapi kamu tidak mau kan kalau nanti anak-anak kalian dibesarkan oleh rasa kebencian?” Saat itulah, saya bertekad bulat untuk segera mengakhiri segala permasalahan ini dan memulai hidup yang baru.

Delapan tahun kemudian, saya telah move on, dan telah menemukan seseorang yang benar-benar mencintai saya apa adanya. Selain itu, saya bisa melakukan apapun yang saya inginkan. Saya bisa makan apa saja yang saya mau, bisa bersantai kapan saja, dan hubungan seksual kami berdua pun juga sangat intens. Finally, I’m connected to life again! Berbeda dengan sebelumnya, saat saya dan pasangan tengah berargumentasi, justru emosi kami bisa diekspresikan dengan baik dan tidak berakhir kosong. Saya merasakan kebahagiaan, cinta, dan hidup yang penuh makna – sesuatu yang tidak pernah saya alami pada saat hari pernikahan saya.
Sekarang saya pun memiliki kebahagiaan yang utuh. Saya dan pasangan juga tidak memedulikan esensi sebuah cincin pernikahan yang bisa mengingatkan saya akan cinta sejati. Yang saya butuhkan adalah kejujuran dan rasa cinta yang tumbuh setiap harinya.

Things That You Should Consider Before Saying 'I Do'

Ask Yourself First!
Tak ada salahnya Anda meyakinkan diri dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada diri Anda. Seperti, “Apa ia benar-benar cinta sejati saya?” atau “Apakah saya sudah siap menerima dirinya apa adanya?” Karena, jika Anda masih punya ganjalan di hati, lebih baik pikirkan kembali keputusan Anda ini.

Financial Problems
Bisa dibilang, faktor yang satu ini benar-benar menjadi hal yang super sensitif saat Anda memilih si dia untuk jadi pasangan hidup. Coba bicarakan secara terbuka, apakah nantinya Anda atau si dia yang akan memegang kendali keuangannya? Karena kalau tidak, hal ini malah bisa memicu pertengkaran yang tiada habisnya.

Know Your Partner
Jangan karena Anda tengah dilanda romansa asmara saja, jadi semua yang dilakukannya pun bak sang ksatria yang usai menyelamatkan hidup Anda. Buka mata dan pasang radar sensitivitas untuk lebih mengetahui si dia yang sebenar-benarnya. At least, Anda mengerti kebiasaannya yang sangat bertolak belakang dengan sifat Anda. Jadi mau tidak mau, Anda harus menerimanya. (Cosmo/Bee)

Source: Cosmopolitan Edisi April 2012

No comments:

Post a Comment